Keluar dari Tempat Itikaf, Hukum dan Syarat-syaratnya
Bab II
KELUAR DARI TEMPAT I’TIKAF, HUKUM-HUKUM DAN SYARAT-SYARATNYA
Sebagaimana yang telah kami singgung bahwa i’tikaf adalah menetap di masjid dan mengisi waktu hanya untuk beribadah. Keluar dari masjid berarti berhenti menetap.
Para ahli fikih telah mempelajari beberapa keadaan penyebab seorang yang beri’tikaf keluar dari masjid. Mereka mengklasifikasikannya keluar masjid kepada yang dibolehkan, yang tidak dibolehkan, yang membatalkan atau yang tidak membatalkan i’tikaf. Terjadi perbedaan pendapat yang hebat dalam masalah ini.
Pembahasan Pertama
Keluar yang Sepakat Dibolehkan dan Tidak Membatalkan I’tikaf
- Membuang hajat, seperti buang air besar dan kecil atau mau muntah, berbekam jika memang sangat dibutuhkan, termasuk juga berobat jika dibutuhkan, khususnya jika dokter ahli yang muslim menasihatinya untuk keluar berobat agar penyakitnya tidak semakin parah. Hal ini jika pengobatan tidak mungkin dilakukan di dalam masjid. Seperti untuk mendapat suntikan Insulin bagi penderita penyakit gula atau penyakit yang sejenisnya.
Kondisi di atas merupakan kondisi yang dibolehkan dan tidak perlu menggunakan dalil. Sama seperti orang yang keluar masjid untuk mandi junub atau mandi hari Jum’at atau untuk mencuci kotoran atau najis yang melekat di pakaian, termasuk juga keluar mengambil wudhu menurut pendapat yang shahih. Karena ketika berwudhu seseorang mengeluarkan ingusnya atau ludahnya yang tentunya terlarang dilakukan di dalam masjid. Terkecuali apabila di dalam masjid tersedia tempat khusus untuk mengambil wudhu dan tidak sampai mengotori masjid dengan demikian dibolehkan berwudhu di dalam masjid. Adapun jika wudhunya belum batal, lalu ia keluar memperbaharui wudhunya untuk mendapatkan berkah wudhu dan mencari keutamaannya, maka hal ini tidak diperbolehkan. Karena hal ini kebutuhan yang tidak mendesak. Namun jika wudhunya batal, lalu ia segera keluar berwudhu untuk menunggu waktu shalat, maka hal ini dibolehkan.
- Keluar masjid untuk makan, jika tidak diperbolehkan makan di dalam masjid, seperti Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Adapun lama masa yang diperbolehkan untuknya adalah sekedar untuk melepaskan kebutuhan-nya saja. Jadi ia boleh pergi untuk menyantap makanannya selama hal itu tidak memakan waktu yang lama, seperti karena tempatnya jauh. Sebagian ulama membolehkan pulang ke rumah untuk makan.
- Mengantarkan isterinya ke rumah jika si isteri datang untuk suatu keperluan atau untuk melaksanakan shalat. Tidak perlu dipeduli-kan pendapat yang membolehkan hal ini dengan mengaitkan hukum jika ia khawatir akan keselamatan isterinya. Alasan ini tertolak berdasarkan hadits Ummul Mukminin, Shafiyyah Radhiyallahu anha.
Dalil-dalil hukum di atas:
- Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ ِلأُرَجِّلَهُ وَكَانَ لاَ يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلاَّ لِحَاجَةٍ اْلإِنْسَانِ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا.
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendekatkan kepalanya kepadaku untuk aku sisir. Dan apabila beliau i’tikaf, beliau tidak pernah masuk ke dalam rumah kecuali untuk suatu yang diperlukan manusia.”[1]
Lafazh الإِنْسَان (manusia) tercantum dalam ri-wayat Muslim dan Abu Dawud dan tidak tercantum dalam riwayat al-Bukhari. Seandainya tambahan perawi tsiqah pada matan tidak diterima, niscaya makna dan pendalilan akan berubah dan keluar masjid mutlak dibolehkan tanpa ada persyaratan.
- Hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Shafiyyah Ummul Mukminin Radhiyallahu anha bahwa pada suatu malam, ia pergi untuk menjenguk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid tempat i’tikafnya. Tatkala ia sampai ke pintu masjid melintaslah dua orang lelaki Anshar dan mereka pun mengucapkan salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau bersabda kepada mereka berdua, “Tunggu sebentar, ia adalah Shafiyyah binti Huyai.” Mereka berdua berkata, “Subhanallah.” dan bertakbir atas tindakan mereka berdua. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
سُبْحَانَ اللهِ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِـنَ اْلإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ، وَإِنِّـي خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِـي قُلُوبِكُمَا شَيْئًا. أَوْ قَالَ: شَرًّا.
“Subhaanallah, sesungguhnya syaitan itu mengalir di tubuh manusia seperti mengalirnya darah dan aku khawatir kalian mengira aku melakukan hal yang tidak-tidak.” Atau beliau bersabda, “…berbuat jahat.”[2]
Hadits ini tercantum dengan beberapa lafazh yang hampir sama.
[Disalin dari kitab Ad-Du’aa’ wal I’tikaaf, Penulis Syaikh Samir bin Jamil bin Ahmad ar-Radhi, Judul dalam bahasa Indonesia I’tikaf Menurut Sunnah yang Shahih, Penerjemah Abu Ihsan al-Atsari, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
______
Footnote
[1] HR. Al-Bukhari (IV/273), bab Laa Yadkhulul Baita illa lihaa-jatihi, kitab al-Haidh hal. 208, Abu Dawud (III/341, no. 2358).
[2] HR. Al-Bukhari (IV/278, no. 2035), Muslim dan lain-lain. Dalam riwayat al-Bukhari tercantum, beliau bersabda:
“Jangan bergegas pergi supaya aku bisa mengantarmu.”
Ini menunjukkan bahwa beliau keluar masjid.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/54881-keluar-dari-tempat-itikaf-hukum-dan-syarat-syaratnya.html